Kamis, 01 Mei 2014

Metode Dakwah

METODE DAKWAH MUJADALAH AL-LATI HIYA AHSAN المجا دلة با لتى هي احسن A. PENDAHULUAN Metode dakwah adalah cara yang ditempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk mencapai dan menyelesaikan suatu tujuan, rencana, system , tata cara pikir manusia. Metode Almujadalah al-lati hiya ahsan merupakan metode tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang di ajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut. Dan juga metode ini adalah suatu cara membawa orang lain kepada islam dengan diskusi yang dilandasi argumentasi yang berbeda dengan mempergunakan dalil yang kompleksitas dan dapat memberikan petunjuk terhadap orang kafir serta dapat membawa ia kembali kepada semua maqasyid al-syari’ah dan furu’nya. Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru dakwah untuk mencapai ajaran materi dakwah islam. Secara garis besar ada 3 pokok metode dakwah, yaitu: 1. Bil al-hikmah 2. Mau’izah hasanah 3. Mujadalah billati hiya ahsan. Dan didalam makalah ini pemakalah akan membahas tentang metode yang ketiga yaitu metode Mujadalah Billati Hiya Ahsan. Untuk lebih memperjelas pemahaman kita, pemakalah akan menguraikannya pada halam berikutnya. B. METODE DAKWAH MUJADALAH AL-LATI HIYA AHSAN 1. Pengertian Mujadalah Al-Lati Hiya Ahsan Secara etimologi kata المجا دلة berasal dari akar kata jada, wajadala, mujadilah, yujadil, ل yang berarti munaqasyah dan khashamah atau berarti diskusi dan perlawanan. Atau metode dalam berdiskusi dengan mempergunakan logika yang rasional dengan argumentasi yang berbeda. جادل artinya berbantah-bantahan, berdebat, bermusuh-musuhan dan bertengkar. Sedangkan جد ل artinya memintal, memilin. Atau dapat juga dikatakan berhadapan dalil dengan dalil, sedangkan mujadalah diartikan dengan berbantah-bantahan dan memperundingkan atau perundingan yang di tempuh melalui perdebatan dan pertandingan. Atau penyimpangan dalam berdiskusi dan kemampuan mempertahankannya. Kata jadala juga dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannyadengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan. Menurut Ali Al-jarisyah, dalam kitabnya Adab al-hiwar waalmunadzarah, mengartikan bahwa al-jidal secara bahasa dapat bermakna pula “Datang untuk memilih kebenaran” dan apabila berbentuk isim al-jadlu maka berarti “Pertentangan atau perseteruan yang tajam”. Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa pendapat dikalangan ulama antara lain menurut Ibnu Sina (980-1037M), jidal ialah bertukar fikiran dengan cara bersaing dan berlomba untuk mengalahkan lawan bicara. Sedangkan menurut Al-jurjani jidal ialah mengokohkan pendapatnya masing-masing dan berusaha menjatuhkan lawan bicara dari pendirian yang dipeganginya. Sedangkan Abi al-biqai dalam Muhammad abu al-fatah al bayanuni, adalah ungkapan dalam penolakan kepada seseorang dengan cara membantahnya karena rusaknya perkataan dengan suatu hujjah. Almujadalah berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya. Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat. Memperhatikan pengertian di atas, maka ditemukan dua bentuk jidal, yaitu jidal yang terpuji dan tercela. Adapun jidal yang bertujuan untuk menegakkan dan membela kebenaran, dilakukan dengan ushlub yang benar dan relevan dengan masalah yang dijadikan pokok bahasan. Sedangkan sebaliknya adalah suatu yang membawa kepada kebatilan, maka jidal seperti itu adalah tercela. Berhubungan dengan adanya jidal yang tercela, maka Al-qur’an mengatur jidal tersebut dengan cara yang lebih baik sejalan dengan pendekatan dakwah yang ditetapkan oleh nash. Karena cara ini merupakan pendekatan metode akal yang paling konkrit dan diekspresikan dalam bentuk diskusi, perbandingan, percakapan dan istilah lain yang menunjukkan kepada makna tersebut berdasarkan tempatnya. Sedangkan dalam memahami kata mujadalah dalam surat An-nahl: 125 adalah dengan arti berbantah-bantahan, sebab jika diambil arti bermusuh-musuhan, bertengkar, memintal, memilin, tampaknya tidak memenuhi apa yang dimaksud oleh ayat tersebut secara keseluruhan. 2. Aspek Mujadallah Al-Lati Hiya Ahsan Dalam Al-Qur’an Aspek mujadalah yang tercakup dalam Al-qur’an meliputi 3 bentuk, yaitu: 1) Mujadalah yang dapat membawa tukar fikiran dengan mempergunakan argumentasi yang valid untuk dapat menetapkan keyakinan, hokum agama sebagaimana yang telah di praktekkan oleh para Rasul dan Nabi didasari kepada wahyu dengan komunikasi yang benar dan menghindari terjadinya miskomunikasi. 2) Mujadalah dengan pendekatan hiwar, yaitu mendiskusikan persoalan tersebut dengan cara yang baik melalui diskusi dan pembahasan yang tuntas, sehingga way out-nya tegas dan jelas. Sebagaimana isyarat surat Al-mujaddalah. Kelebihannya antara lain: a. Suasana dakwah akan tampak hidup, sebab semua peserta mencurahkan perhatiannya kepada masalah yang sedang didiskusikan. b. Dapat mengehilangkan sifat-sifat individualities dan diharapkan akan menimbulkan sifat-sifat positif pada mitra dakwah seperti toleransi, demokrasi, berpikir sistematis dan logis. c. Materi akan dapat dipahami secara mendalam. 3) Mujadalah yang muncul dari tipologi orang kafir yang mereka berdiskusi dengan cara tidak benar untuk mengalahkan kebenaran. Seperti isyarat Allah pada surat Ghafir (Al-mukmin). 3. Bentuk-Bentuk Metode Mujadalah Al-Lati Hiya Ahsan Bentuk-bentuk metode Mujadalah Al-Lati Hiya Ahsan ini meliputi kepada 2 bagian, yaitu: a. Al-asilah wa al-ajwibah (tannya jawab): suatu bentuk metode dakwah yang diawali dengan pertanyaan-pertanyaan dan dan memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut sesuai dengan kondisinya. Jika pertanyaan berhubungan dengan aqidah, maka jawaban yang diberikan dengan jelas dan tuntas, jika pertanyaan itu muncul dalam bentuk hukum, maka jawaban disampaikan secara bertahap dan berencana, sedangkan jika pertanyaan yang muncul seputar kemasyarakatan dan social maka jawabannya dijawab dengan terperinci dan hasilnya langsung dinikmati oleh masyarakat. Metode ini dipergunakan dalam bentuk member jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan oleh umat islam yang belum atau mereka dapati atau belum mereka ketahui secara pasti hakikat atau penjelasannya. Dengan kata lain meode ini berbentuk Tanya jawab, yaitu saling tukara pikiran antara sasaran dakwah dengan pelaksana dakwah. Metode ini adalah berhadapan seseorang aatau kelompok yang pandai dengan orang pandai lainnya. b. Alhiwar (dialog), kata hiwar berasala dari bahasa arab dari akar kata ح, و, ر yuhawiru, muharawatan, yang berarti perdebatan yang memerlukan jawabannya atau tanya jawab pada satu objek tertentu yang mendekati kepada munakasah dan mubahastah terhadap suatu persoalan dan peristiwa yang terjadi, dimana ketika terjadinya diskusi , langsung ditemukan solusinya sehingga suasana dialogis langsung menerima keputusan atau jawaban pada saat terjadinya persoalan ketika itu. Didalam Al-qur’an dialog nabi dengan kaumnya terdapat 23 kali yang tersebar dalam berbagai surat dan ayat dalam Al-qur’an, maka bahasan ini tidak menjelaskan semua topic dialog tersebut, akan tetapi difokuskan hanya kepada dialog beberapa Nabi dengan kaumnya, antara lain: nabi Ibrahim dengan bapak dan kaumnya, Musa dengan Fir’aun, dan nabi Muhammad dengan Ahl al-kitab. Metode mujadalah al-lati hiya ahsan tidak hanya berbicara sebatas konsep, namun Al-qur’an telah mengaplikasikannya melalui petunjuk Al-qur’an dalam melaksanakan dakwah islam. Sebab mujadalah hasanah itu dipahami dengan bertukar pikiran atau berdiskusi dengan baik, maka mujadalah telah bersifat aplikatif (diterapkan) sebagaimana dua metode sebelumnya. Dan telah dipraktekkan oleh nabi Muhammad saw dalam mengembangkan ajaran islam kepada umat manusia 4. Ayat-Ayat Al-Qur’an Yang Berhubungan Dengan Muajadalah Al-Lati Hiya Ahsan Pada kajian ini tidak semua akar jadala yang menjadi sorotan, akan tetapi terdapat delapan ayat yang erat hubungannya dengan masalah yang dibahas, yaitu: a) Surat An-nahl ayat 125              •     •        Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Dalam ayat di atas, terdapat arti “berbantah-bantahan” atau berarti bermusuh-musuhan, bertengkar atau memilin atau memintal, jelas tidak memenuhi sebagaimana dimaksud oleh ayat tersebut secara universal. Akan tetapi, jika diambil dari arti kata mujadala secara transparan, maka pengertian yang ditemukan menjadi negative, namun bila dirangkaikan dengan kata حسنة (baik), maka artinya menjadi positif, yaitu berbantah-bantah dengan cara yang terpimpin dalam upaya menemukan kebenaran. b) Surat An-nisa’ ayat 107        •         Artinya: “Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa,” Ayat ini menunjukkan etika mujadalah dengan orang-orang yang berkhianat kepada islam, karena tujuan mereka bermujadalah adalah untuk kepentingan hidup dunia semata, bukan untuk mencari kebenaran, sebab jiwanya akan tetap mengingkari kebenaran islam dan membencinya. Maka Allah melarang melayaninya. Untuk itu, debat mewujudkan 3 hal pokok, yaitu: memperbaiki sasaran dan tujuan dakwah, memperbaiki pendekatan dan bentuk dakwah, memperbaiki hasil dakwah yang belum berhasil. c) Surat Luqman ayat 20   •    •             ••             Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” Mujadalah disini adalah bantahan tentang kemaha kuasaan Allah terutama yang menyangkut dengan kejadian manusia dan hewan, sehingga ia bermujadalah tentang keesaan Allah, sifat dan eksistensi para rasul tanpa dilandasi kepada pemikiran rasional. d) Surat Al-mujaddalah ayat 1                •     Artinya: “Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat “. Maksud ayat ini adalah meminta adanya penyelesaian secara tuntas tentang zihar sehingga antara kedua suami istri terdapat kedamaian dalam kehidupannya. Ini menunjukkan bahwa jidal adalah proses untuk menemukan kebenaran bukan melahirkan petengkaran. e) Surat Al-ankabut ayat 46                •             Artinya: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: "Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri". Yang di maksud ahli kitab dalam terminology alqur’an adalah orang-orang yang berada diluar islam, diklasifikasikan kepada musyrik dan ahli al-kitaby (kafir). Maka bermujadalah dengan mereka adalah dengan berlaku baik, lemah lembut dan merasa dekat kepadanya. f) Surat Al-hajj ayat 8  ••             Artinya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa Kitab (wahyu) yang bercahaya.” Dalam ayat diatas, mujadalah mencerminkan diantara manusia ada orang-oarang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, yaitu sebagian mereka menjadikan mujadalah itu sebagai suatu yang dianjurkan Allah sesuai dengan sifat dan perbuatan, sebagian lain bermujadalah tanpa mengikuti argumentasi dan keterangan bahkan tidak mengetahui apa yang ia katakana, seperti Allah tidak berkuasa untuk menghidupkan, Allah mempunyai anak dan Al-qur’an adalah sebagai senandung orang purbakala dan lain sebagainya. Mujadalah yang mereka lakukan tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya, akan tetapi ia mengikuti keinginan setan dan hawanya. g) Surat Al-ghafir ayat 35                           Artinya: “(yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” Mujadalah disini tertuju kepada orang-orang yang memerdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alas an yang sampai kepada mereka, yaitu mereka melampaui batas, tanpa argument yang valid dan keterangan yang jelas serta menghancurkan kebenaran dengan kebathilan, sehingga Allah mengancam mereka dengan kemurkaan yang amat besar dan mengunci hatio mereka, karena kesombongannya. C. PENUTUP Demikianlah makalah yang kami buat, Kami menyadari dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah terdapat banyak kesalahan dan kekhilafan, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kami, guna mengingatkan dan memperbaiki setiap kesalahan yang ada dalam proses pembuatan dan penyampaian makalah. Terakhir tidak lupa kami mengucapkan rasa syukur kehadiran Allah SWT serta terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan makalah ini. DAFTAR BACAAN Salmadanis, Metode Dakwah Perspektif Al-Qur’an, Hayfa Press, Padang: 2002 Munzier Suparta, Metode Dakwah, Prenada Media, Jakarta: 2003 Keluarga Besar BPI-A 09, Metode Dakwah, Padang: 2012 Al-Qur’an Dan Terjemahannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar